IPM “vis-à-vis” Kesejahteraan

Pikiran Rakyat 31 Desember 2007

10:18

Oleh Ichary Soekirno

Apakah peningkatan indeks pembangunan manusia atau IPM dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran masyarakat Jabar? Itu pertanyaan mendasar tatkala Jawa Barat menjadikan IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan sejak tahun 2001 sampai saat ini.

Jika kita menengok IPM vis-a-vis kesejahteraan masyarakat, IPM adalah indeks komposit yang menggambarkan tingkat pendidikan (RLS/rata rata lama sekolah dan AMH/angka melek huruf) derajat kesehatan (AHH/angka harapan hidup) dan kemampuan ekonomi/daya beli (konsumsi riil per kapita), sedangkan kesejahteraan dan kemakmuran adalah sebuah konsep abstrak yang mungkin ukurannya bisa berbeda antara satu komunitas/bangsa dan komunitas/bangsa yang lain. Atau dengan kata lain kesejahteraan dan kemakmuran merupakan sebuah ukuran kualitatif; adapun ukuran kuantitatif yang secara universal diterima sebagai ukuran kesejahteraan & kemakmuran adalah dari rata-rata tingkat pendidikan, derajat kesehatan dan daya beli, yang itu semua dirangkum dalam suatu indeks yang disebut IPM. Dengan meningkatkan pendidikan, derajat kesehatan dan daya beli bermuara pada IPM, sama artinya kita meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran suatu masyarakat, paling tidak dalam konteksnya yang universal.

Pada tahun 1953 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk panitia ahli untuk pengukuran tingkat kehidupan rakyat dan memunculkan konsep kualitas kehidupan rakyat (the quality of life). Terdapat berbagai perkembangan pengukuran tingkat kesejahteraan, seperti Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), Physical Quality Life Index (Indeks Mutu Hidup); Basic Needs (Kebutuhan Dasar); dan GNP/Kapita (Pendapatan Perkapita). Sementara itu, klasifikasi IPM versi UNDP adalah (i) interval 0-50 dikategorikan rendah; (ii) 0-80 dikategorikan sedang, dengan menengah bawah antara 0-66, dan menengah atas 66-80; dan (iii) Interval 80-100 dikategorikan tinggi; dengan kata lain angka IPM 80 merupakan angka tertinggi dari menengah atas, atau angka terendah di kategori tinggi.

Provinsi Jawa Barat telah menjadikan IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan yang disepakati dalam bentuk peraturan daerah (perda) tahun 2001. Dari sini terlihat bahwa Pemprov Jabar telah memiliki sense of outward looking, tidak semata inward looking. Di era global – mondial – universal, perlu peningkatan mutu & daya saing SDM Jabar, bila tidak kita akan tersisihkan di arena persaingan mana pun, bahkan ke depan bukan tak mungkin akan tereliminasi di rumahnya sendiri bila tidak diantisipasi.

Pada awalnya (2001) ada tiga skenario berupa (1) Skenario Benchmark Dinamis, yaitu pada tahun 2010 IPM Jawa Barat harus ditingkatkan sehingga mendekati ranking 15 di Indonesia, ranking 10 besar, 5 dan kemudian ranking 1; (2) Skenario Benchmark Tetap, yaitu pada tahun 2010 IPM Jawa Barat harus mencapai 80 (sebagai batas paling bawah suatu wilayah termasuk memiliki tingkat kesejahteraan tinggi); dan (3) Skenario Dasar, yaitu pada tahun 2010 IPM Jawa Barat berkembang menurut kecenderungan pertumbuhan alami dan dampak krisis sehingga tahun 2010 diperkirakan IPM mencapai 71,6.

Sebagai catatan, pada tahun 2001 angka IPM Jabar masih berada pada 66,10 dan di tahun 2005 adalah 69,35. Kini di tahun 2007, berdasarkan data BPS Jabar (Juli 2007), Jabar secara nasional telah memasuki ranking 14 dengan realisasi IPM 70,30; indeks pendidikan ditahun 2006 telah menunjukkan angka 80,2, kesehatan 70,13, sedangkan daya beli masih berkutat didekat 60,00 (59,42).

Dalam konteks daya beli vis-à-vis jumlah penduduk, pada tahun 2000 jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat sebesar 35,7 juta jiwa; dan diestimasi menjadi 52,7 juta jiwa pada tahun 2025. Walaupun demikian, laju pertumbuhannya terus mengalami penurunan yaitu 1,81% (tahun 2000 – 2005), diharapkan menjadi 1,27% (tahun 2020 – 2025). Jumlah penduduk tersebut lebih banyak tinggal di daerah perkotaan dengan angka perkiraan sebesar 81,4% pada tahun 2025. Makna meningkatkan mutu dan daya saing SDM Jabar dalam kapasitas man power perlu dilakukan bersama dalam kesadaran antara provinsi, kabupaten, dan kota; membangun man power dalam arah profesional dan kompeten, dasarnya akan berkaitan dengan ketiga bidang IPM.

Dari kronologis perjalanan IPM, terlihat bahwa program peningkatan IPM bukanlah hal baru, model “IPM berbasis PPK, atau dikenal dengan sebutan PPK-IPM” memiliki perbedaan yang sangat hakiki dan mendasar karena menggunakan sistem competition based funding. Namun, PPK-IPM bukanlah satu-satunya tolok ukur keberhasilan dalam pencapaian IPM Jabar 80. Program Pendanaan Kompetisi boleh dikatakan merupakan pola pikir baru di lingkungan kerja pemprov, pemkab, dan pemkot dalam model dan metode kegiatan berbasis kompetisi.

Melalui sistem pendanaan kompetisi diharapkan terjadi perubahan paradigma di dalam memanfaatkan dana masyarakat dan pemerintah, melalui perencanaan berbasis evaluasi diri, dalam tolok ukur kinerja. Memang pada awalnya, ada pendapat yang sifatnya kompetisi “bukanlah budaya kita”. Dengan sistem PPK diharapkan mampu mendorong terjadi kesadaran-kolektif SDM terkait maupun multi-stakeholders akan upaya bersama fokus pada visi Jabar.

Membangun Jabar perlu kekuatan institusi & SDM yang memiliki spirit, kepeloporan, tindakan, dan dampak. Di tingkat nasional maupun global semakin terasa adanya tingkat persaingan yang keras bahkan sudah pada taraf fierce competition, ditandai dengan meningkatnya tantangan, ancaman, dan peluang baru yang perlu diantisipasi dalam perspektif ke depan. Yang siap yang berpotensi menang. Kemandirianlah yang akan memangku kapasitas otonomi, etos, mindset, dan spirit SDM yang dimilikinya akan tercermin dari daya juang dan daya saing dalam kancah mutu dan persaingan.

Kualitas SDM dan kesadaran masyarakat inilah yang akan memberikan komitmen dan kontribusi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan sosial manusia di lingkungannya bagi masa depan otonomi daerah yang dimiliki dan diembannya. Oleh karena itu, asas otonomi harus memiliki daya gerak untuk membuat sistem lebih dinamis yang akan bertumpu pada SDM yang lebih kompetitif & unggul (baca: berorientasi pada kualitas dan daya saing), dalam citra SDM yang profesional dan kompeten, disertai organisasi yang lebih sehat lagi. SDM yang cerdas dicirikan oleh kemampuan adaptatif, kontributif, dan solutif seiring waktu dan zaman. Sekali lagi, keberhasilan melaksanakan otonomi daerah vis-a-vis kesejahteraan masyarakat Jabar, akan sangat berkaitan dengan kebiasaan, sikap, dan perilaku kita bersama dalam memajukan Provinsi Jabar yang kita cintai. ***

 

Pasted from <http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=6313>

Tinggalkan komentar