IPM “vis-à-vis” Kesejahteraan

Pikiran Rakyat 31 Desember 2007

10:18

Oleh Ichary Soekirno

Apakah peningkatan indeks pembangunan manusia atau IPM dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran masyarakat Jabar? Itu pertanyaan mendasar tatkala Jawa Barat menjadikan IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan sejak tahun 2001 sampai saat ini.

Jika kita menengok IPM vis-a-vis kesejahteraan masyarakat, IPM adalah indeks komposit yang menggambarkan tingkat pendidikan (RLS/rata rata lama sekolah dan AMH/angka melek huruf) derajat kesehatan (AHH/angka harapan hidup) dan kemampuan ekonomi/daya beli (konsumsi riil per kapita), sedangkan kesejahteraan dan kemakmuran adalah sebuah konsep abstrak yang mungkin ukurannya bisa berbeda antara satu komunitas/bangsa dan komunitas/bangsa yang lain. Atau dengan kata lain kesejahteraan dan kemakmuran merupakan sebuah ukuran kualitatif; adapun ukuran kuantitatif yang secara universal diterima sebagai ukuran kesejahteraan & kemakmuran adalah dari rata-rata tingkat pendidikan, derajat kesehatan dan daya beli, yang itu semua dirangkum dalam suatu indeks yang disebut IPM. Dengan meningkatkan pendidikan, derajat kesehatan dan daya beli bermuara pada IPM, sama artinya kita meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran suatu masyarakat, paling tidak dalam konteksnya yang universal.

Pada tahun 1953 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk panitia ahli untuk pengukuran tingkat kehidupan rakyat dan memunculkan konsep kualitas kehidupan rakyat (the quality of life). Terdapat berbagai perkembangan pengukuran tingkat kesejahteraan, seperti Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), Physical Quality Life Index (Indeks Mutu Hidup); Basic Needs (Kebutuhan Dasar); dan GNP/Kapita (Pendapatan Perkapita). Sementara itu, klasifikasi IPM versi UNDP adalah (i) interval 0-50 dikategorikan rendah; (ii) 0-80 dikategorikan sedang, dengan menengah bawah antara 0-66, dan menengah atas 66-80; dan (iii) Interval 80-100 dikategorikan tinggi; dengan kata lain angka IPM 80 merupakan angka tertinggi dari menengah atas, atau angka terendah di kategori tinggi.

Provinsi Jawa Barat telah menjadikan IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan yang disepakati dalam bentuk peraturan daerah (perda) tahun 2001. Dari sini terlihat bahwa Pemprov Jabar telah memiliki sense of outward looking, tidak semata inward looking. Di era global – mondial – universal, perlu peningkatan mutu & daya saing SDM Jabar, bila tidak kita akan tersisihkan di arena persaingan mana pun, bahkan ke depan bukan tak mungkin akan tereliminasi di rumahnya sendiri bila tidak diantisipasi.

Pada awalnya (2001) ada tiga skenario berupa (1) Skenario Benchmark Dinamis, yaitu pada tahun 2010 IPM Jawa Barat harus ditingkatkan sehingga mendekati ranking 15 di Indonesia, ranking 10 besar, 5 dan kemudian ranking 1; (2) Skenario Benchmark Tetap, yaitu pada tahun 2010 IPM Jawa Barat harus mencapai 80 (sebagai batas paling bawah suatu wilayah termasuk memiliki tingkat kesejahteraan tinggi); dan (3) Skenario Dasar, yaitu pada tahun 2010 IPM Jawa Barat berkembang menurut kecenderungan pertumbuhan alami dan dampak krisis sehingga tahun 2010 diperkirakan IPM mencapai 71,6.

Sebagai catatan, pada tahun 2001 angka IPM Jabar masih berada pada 66,10 dan di tahun 2005 adalah 69,35. Kini di tahun 2007, berdasarkan data BPS Jabar (Juli 2007), Jabar secara nasional telah memasuki ranking 14 dengan realisasi IPM 70,30; indeks pendidikan ditahun 2006 telah menunjukkan angka 80,2, kesehatan 70,13, sedangkan daya beli masih berkutat didekat 60,00 (59,42).

Dalam konteks daya beli vis-à-vis jumlah penduduk, pada tahun 2000 jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat sebesar 35,7 juta jiwa; dan diestimasi menjadi 52,7 juta jiwa pada tahun 2025. Walaupun demikian, laju pertumbuhannya terus mengalami penurunan yaitu 1,81% (tahun 2000 – 2005), diharapkan menjadi 1,27% (tahun 2020 – 2025). Jumlah penduduk tersebut lebih banyak tinggal di daerah perkotaan dengan angka perkiraan sebesar 81,4% pada tahun 2025. Makna meningkatkan mutu dan daya saing SDM Jabar dalam kapasitas man power perlu dilakukan bersama dalam kesadaran antara provinsi, kabupaten, dan kota; membangun man power dalam arah profesional dan kompeten, dasarnya akan berkaitan dengan ketiga bidang IPM.

Dari kronologis perjalanan IPM, terlihat bahwa program peningkatan IPM bukanlah hal baru, model “IPM berbasis PPK, atau dikenal dengan sebutan PPK-IPM” memiliki perbedaan yang sangat hakiki dan mendasar karena menggunakan sistem competition based funding. Namun, PPK-IPM bukanlah satu-satunya tolok ukur keberhasilan dalam pencapaian IPM Jabar 80. Program Pendanaan Kompetisi boleh dikatakan merupakan pola pikir baru di lingkungan kerja pemprov, pemkab, dan pemkot dalam model dan metode kegiatan berbasis kompetisi.

Melalui sistem pendanaan kompetisi diharapkan terjadi perubahan paradigma di dalam memanfaatkan dana masyarakat dan pemerintah, melalui perencanaan berbasis evaluasi diri, dalam tolok ukur kinerja. Memang pada awalnya, ada pendapat yang sifatnya kompetisi “bukanlah budaya kita”. Dengan sistem PPK diharapkan mampu mendorong terjadi kesadaran-kolektif SDM terkait maupun multi-stakeholders akan upaya bersama fokus pada visi Jabar.

Membangun Jabar perlu kekuatan institusi & SDM yang memiliki spirit, kepeloporan, tindakan, dan dampak. Di tingkat nasional maupun global semakin terasa adanya tingkat persaingan yang keras bahkan sudah pada taraf fierce competition, ditandai dengan meningkatnya tantangan, ancaman, dan peluang baru yang perlu diantisipasi dalam perspektif ke depan. Yang siap yang berpotensi menang. Kemandirianlah yang akan memangku kapasitas otonomi, etos, mindset, dan spirit SDM yang dimilikinya akan tercermin dari daya juang dan daya saing dalam kancah mutu dan persaingan.

Kualitas SDM dan kesadaran masyarakat inilah yang akan memberikan komitmen dan kontribusi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan sosial manusia di lingkungannya bagi masa depan otonomi daerah yang dimiliki dan diembannya. Oleh karena itu, asas otonomi harus memiliki daya gerak untuk membuat sistem lebih dinamis yang akan bertumpu pada SDM yang lebih kompetitif & unggul (baca: berorientasi pada kualitas dan daya saing), dalam citra SDM yang profesional dan kompeten, disertai organisasi yang lebih sehat lagi. SDM yang cerdas dicirikan oleh kemampuan adaptatif, kontributif, dan solutif seiring waktu dan zaman. Sekali lagi, keberhasilan melaksanakan otonomi daerah vis-a-vis kesejahteraan masyarakat Jabar, akan sangat berkaitan dengan kebiasaan, sikap, dan perilaku kita bersama dalam memajukan Provinsi Jabar yang kita cintai. ***

 

Pasted from <http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=6313>

Tiga Hambatan Pelaksanaan Indeks Kesehatan

Pikiran Rakyat 31 Desember 2007

10:16

SUATU harapan besar tercipta ketika dicanangkan program Jawa Barat Sehat 2008. Program tersebut harusnya terintegrasi dengan konsep peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Barat yang ditargetkan mencapai 80 pada 2010 mendatang. Secara nasional dan internasional juga ikut terkait pada komitmen pembangunan dalam era milenium (Millenium Development Goals, MDGs) 2015 mendatang.

Dalam paradigma IPM, fokus utama ditujukan untuk pengembangan manusia, kemakmuran, keadilan, dan keberlanjutan (sustainability). Dasar pemikiran paradigma ini mengacu kepada keseimbangan ekologi manusia dan tujuan utamanya adalah aktualisasi optimal potensi manusia.

Berdasarkan konsep Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), konsep kesehatan secara paripurna meliputi urusan “sehat” secara fisik, tetapi juga secara sosial dan spiritual. Unsur kesehatan dalam penghitungan indeks pembangunan manusia (IPM) diwakili oleh indeks kesehatan yang meliputi derajat kesehatan dan angka harapan hidup (life expectancy rate). Indikator ini digunakan untuk mengukur status kesehatan masyarakat, panjang umur rata-rata.

Pada 2006, IPM yang diperoleh Jawa Barat sebesar 70,30 naik dari IPM 2005 yang sebesar 69,35. Demikian pula dengan IPM kesehatan. Indeks kesehatan pada 2006 sebesar 70,13 dengan angka harapan hidup 67,08 tahun. Angka ini naik dari tahun sebelumnya atau tahun 2005, IPM-nya sebesar 69,28 dan angka harapan hidupnya 66,57 tahun. Untuk mengejar target IPM sebesar 80 pada 2010, banyak hambatan yang harus dilalui. Apalagi, jumlah penduduk Jawa Barat sudah mencapai 40.737.594 jiwa penduduk (Data Suseda 2006).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, derajat kesehatan meliputi angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup sebesar 40,87 poin. Angka kematian balita per 1.000 balita mencapai 64,67 poin, angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup mencapai 321,15 poin, dan angka kematian kasar per 1.000 penduduk mencapai 8,10 poin. Persentase penduduk yang mengeluh sakit di Provinsi Jawa Barat mencapai 22,51%, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 23,65%.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Dr. Hanny Ronosulistyo, Sp.O.G., M.M., terdapat tiga besar hambatan dalam meningkatkan indeks kesehatan. Secara faktual, kondisi kesehatan lingkungan sangat memengaruhi derajat kesehatan masyarakat di Jawa Barat. “Hal itu juga dipengaruhi secara nyata oleh peran serta masyarakat yang belum menunjukkan kondisi yang lebih baik, terutama pemahaman terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS),” katanya. Berbagai penyakit berbasis lingkungan yang melanda Jawa Barat sepanjang 2007, di antaranya flu burung dan demam berdarah dengue.

Kasus flu burung pada 2007 ditemukan di 21 kab./kota, 192 kecamatan yang menyebar di 296 desa/kelurahan. Sebanyak 318 kasus positif dengan jumlah unggas mati sebanyak 29.206 ekor. Sejak 2005 sampai 2007, penderita positif virus flu burung (Avian influenza) ditemukan sebanyak 29 orang, 24 orang di antaranya meninggal dunia.

Sampai Oktober 2007, dilaporkan kasus penyakit DBD yang ditularkan nyamuk Aedes aegypti mencapai 23.577 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 243 kasus. Penyakit malaria masih menjadi penyakit endemis di 5 kabupaten (Sukabumi, Cianjur, Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya). Jawa Barat berhasil “menggeser” kedudukan Papua dalam hal penyebaran virus HIV-AIDS menjadi peringkat ke-2 se-Indonesia dengan 2.513 kasus, terdiri dari 1.423 orang penderita HIV dan 1.090 penderita AIDS.

Terjadi peningkatan penyebaran malaria di daerah reseptif mencapai 1,43 pada angka sebelumnya 0,386. Jumlah balita gizi buruk tercatat sebanyak 24.729 kasus.

Permasalahan kedua yaitu keterbatasan aksesibilitas dan kualitas kesehatan. Pelayanan kesehatan dasar masih belum mencapai standar pelayanan minimal (SPM), prasarana pelayanan kesehatan dasar belum dapat diakses sepenuhnya oleh masyarakat terutama penduduk miskin, tenaga kesehatan belum merata terutama di perdesaan.

Jumlah tenaga kerja puskesmas mencapai 25.099 orang, terdiri dari 1.631 orang dokter umum dan sisanya paramedis. Tenaga bidan di desa baru mencakup 43,23% dengan jumlah 6.951 orang. “Satu puskemas melayani 40.575 penduduk, tentu menjadi tugas yang berat bagi tenaga kesehatan tersebut,” ungkapnya. Dari 1.040 puskesmas yang ada di Jabar, baru 640 puskesmas yang memiliki dokter. Rumah sakit yang tersebar di seluruh Jabar mencapai 174 unit, terdiri dari RS pemerintah maupun swasta. Jika dihitung, rasio satu tempat tidur melayani 3.207 penduduk.

Masalah lain yang dihadapi yaitu jumlah penduduk miskin. Dalam program pemerintah, warga miskin dijamin kesehatannya melalui Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin) dengan premi Rp 5.000,00/individu/hari. Dana diturunkan dari Departemen Kesehatan RI yang dikelola PT Askes.

Persentase penduduk miskin di Jabar pada 2006 mencapai 29,05%. Jumlah penduduk miskin cenderung terus meningkat setiap tahunnya dipengaruhi penurunan daya beli masyarakat. Tidak semua jumlah penduduk miskin dijamin oleh Askeskin, sisanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Akibatnya, membebani APBD masing-masing daerah. Keterlambatan pembayaran klaim Askeskin malah membuat rumah sakit meradang dan dibuat “bangkrut”.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai target indeks kesehatan dalam IPM diawali dengan sosialisasi dan penyebaran pengetahuan ke tiap desa mengenai PHBS yang menjadi pangkal utama pencegahan penyakit. “Upaya untuk mengubah gaya hidup memang sulit, apalagi sudah menjadi kebiasaan menahun. Namun, pemeliharaan kesehatan harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat,” katanya. Masyarakat dan unsur lainnya harus diajak serta dalam bentuk pemberdayaan dan kemitraan mengelola kehidupan lingkungan yang layak sehingga konsep sehat secara paripurna dapat tercapai. Terutama, dalam hal pencegahan dan pemberantasan penyakit menular terutama daerah perbatasan dan desa tertinggal.

Peningkatan aksesibilitas dan kualitas kesehatan masyarakat dengan fokus peningkatan sarana dan prasarana kesehatan dasar, penyediaan sumber daya kesehatan terutama untuk daerah perbatasan dan desa tertinggal, harus segera diselenggarakan.

Pemberdayaan penduduk miskin tak kalah penting untuk meningkatkan kondisi kesehatan mereka. Dapat dimulai dengan peningkatan akses dan pelayanan bagi penduduk miskin. Tentunya, semua kembali kepada kesadaran masing-masing individu untuk mengupayakan kesehatan masing-masing. Dengan demikian, upaya individu yang berkesinambungan akan mendukung upaya kolektif untuk mencapai Jawa Barat Sehat 2008. Dalam kurun waktu yang singkat, mungkinkah pengelolaan kesehatan secara paripurna tercapai? (Ririn N.F./”PR”) ***

 

Pasted from <http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=6315>

Rancang Pendidikan Murah

PIkiran Rakyat 31 Desember 2007

9:57

Melihat pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Barat, indeks pendidikan (IP) menjadi salah satu elemen dengan pencapaian yang cukup tinggi. Indeks pendidikan 80,61% di tahun 2006, dengan dua indikator angka melek huruf (AMH) 95,12% per tahun dan angka rata-rata lama sekolah (RLS) 7,74% per tahun.

Ini artinya 95,12% penduduk Jawa Barat sudah melek huruf latin, sementara rata-rata lama sekolah penduduk Jawa Barat baru mencapai 7,74% per tahun atau setara dengan SMP kelas 1.

Untuk terus menggenjot IP tentunya masih menemui berbagai kendala. Belum optimalnya masyarakat dalam berpartisipasi di bidang pendidikan, keterbatasan anggaran, kerusakan prasarana, dan sarana pendidikan, khususnya pendidikan dasar serta masalah ekonomi masyarakat menjadi sejumlah kendala di antara seabrek kendala lainnya.

“Belum optimalnya partisipasi masyarakat menjadi masalah yang serius, sehingga Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, ke depan akan merancang pendidikan murah berkualitas. Karena memandang kendala yang terjadi dalam mencapai indeks pendidikan sebagai indikator komposit, itu adalah masalah partisipasi masyarakat,” kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Dr. H. Dadang Dally.

Persoalan-persoalan tersebut, menurut Kadisdik semakin mengkristal, sehingga Gubernur Jawa Barat ke depannya akan merancang kebijakan untuk pendidikan murah dan berkualitas. Dengan kebijakan pendidikan murah dan berkualitas itu, sasarannya adalah membuka akses bagi masyarakat untuk menikmati layanan pendidikan.

Ketika angka partisipasi ini meningkat, diharapkan akan berpengaruh terhadap sarana dan prasarana sekolah. Selanjutnya, hal ini akan berpengaruh pula terhadap peningkatan IPM. Dengan tingginya partisipasi masyarakat dan melihat kemajuan peningkatan setiap tahun, target IPM Jabar di 2010 sebesar 80% dengan perhitungan indeks pendidikan 85,50% akan tercapai.

Banyak terobosan yang dilakukan untuk itu, seperti program keaksaraan dan menjadikan Dewan Masjid Indonesia (DMI) sebagai mitra. “Masjid kita jadikan tempat pembelajaran keaksaraan,” kata Kadisdik.

Diakuinya, baik mengenai melek huruf maupun lama sekolah, keduanya sulit untuk digenjot. Namun, dengan kemauan dan tekad yang kuat, Jabar ingin segera menyelesaikan persoalan itu. Kesulitannya, tentu saja dari anggaran. Jika anggarannya mencakup banyak target yang terkait dengan RLS dan AMH tentu tidak harus tahun 2010 mendatang. Akan tetapi, dapat dicapai lebih cepat.

Di perkotaan angka melek hurufnya sudah tinggi, sementara di daerah pantai utara (pantura) masih rendah. Karena di perkotaan umumnya tingkat ekonominya memadai, didukung budaya yang bagus sehingga pendidikan sudah menjadi prioritas. “Ekonomi sebetulnya sangat berpengaruh. Jadi, upaya dinas untuk mengatasi masalah tersebut, kita harus membuat rencana yang cukup memadai,” katanya. Sejumlah program Disdik Jabar untuk meningkatkan pendidikan pada tahun 2008 di antaranya, peningkatan pelayanan pendidikan anak usia dini (PAUD), akselerasi wajar dikdas 9 tahun fase akhir, grand design pendidikan murah berkualitas, pendanaan role sharing, rintisan pendidikan 12 tahun dan three partied.

Di mata pemerhati pendidikan yang juga salah satu staf pengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Iik Nurul Faik, pencapaian IP Jawa Barat di angka 80,61% bukanlah sebuah pencapaian yang prestatif atau luar biasa. Jika dibandingkan dengan daerah lain, pencapaian IPM Jawa Barat termasuk dalam kelas menengah.

“Harus dituntaskan dulu wajar dikdas 9 tahun, di samping juga mengoptimalkan jalur nonformal atau kesetaraan yang masih harus digenjot,” katanya.

Menurut Iik, pencapaian IP Jawa Barat tersebut bukan berarti tanpa masalah. Di samping aksesibilitas pendidikan serta keterbatasan ekonomi masyarakat yang masih menjadi kendala, belum adanya kebijakan pemerintah provinsi Jawa Barat tentang jalur pendidikan di pesantren membuat pencapaian IP ini masih harus dipertanyakan.

“Bagaimana dengan prestasi jalur pesantren? Sampai sekarang jalur ini masih belum dikalkulasikan dalam penghitungan IP dan pendidikan baru fokus pada pendidikan formal serta pendidikan nonformal, yakni pendidikan kesetaraan. Di luar itu luput,” ujarnya.

Padahal jika dilihat, hampir 30% warga Jawa Barat belajar dan menimba ilmu di pesantren. Artinya, pencapaian IP di Jawa Barat pada kenyataannya bisa jauh lebih rendah dari pencapaian yang sudah ada, karena jalur pesantren masih belum dikalkulasikan dalam perhitungan.

“Jadi, harus ada kebijakan lain yang diambil untuk mengalkulasikan masyarakat pesantren. Walaupun, secara nasional tidak ada aturannya, tetapi sebaiknya Jawa Barat mengambil kebijakan tentang ini. Seperti apa mekanismenya atau ada kebijakan di mana pesantren dijadikan basis pendidikan kesetaraan. Selama ini belum sepenuhnya pesantren tersentuh program kesetaraan,” ungkapnya.

Kebijakan yang diambil selama ini, menurut Iik hanya bersifat sporadis dan tidak berdasarkan data yang akurat. Padahal, untuk meningkatkan angka melek huruf atau mengoptimalkan program kesetaraan pemerintah harus bergerak sampai ke desa-desa.

“Bentuk tim pokja buta huruf atau akselerasi keaksaraan di desa-desa, sehingga kebijakan yang dikeluarkan betul-betul menyentuh, tentunya dengan data yang akurat,” katanya.

Dengan keadaan seperti ini, Iik pun berpendapat bahwa target pencapaian IPM Jawa Barat hingga angka 80% di tahun 2010 tidak akan tercapai. Meskipun, kecenderungannya akan terus meningkat setiap tahunnya.

“Kalau saya bilang tidak usah terjebak dengan target 80%. IPM kan hanya gambaran dari kinerja pembangunan. Kalaupun target 80% tidak tercapai, kinerja pembangunan masih dianggap meningkat karena angkanya cenderung naik setiap tahunnya,” tuturnya.(Akim Garis/Nuryani/”PR”) ***

 

Pasted from <http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=6316>

 

Sulitnya Dongkrak Daya Beli

Pikiran Rakyat31 Desember 2007

9:56

BAGAIMANA mengukur indeks pembangunan manusia (IPM) dalam konteks daya beli (DB) yang menjadi salah satu instrumennya? Jawabannya hanya satu, yakni pendapatan.

Pendapatan menjadi ukuran untuk melihat sejauhmana daya beli masyarakat meningkat atau tidak. Sedangkan menilai atau menakar pendapatan itu akan diukur, apakah pendapatan bisa memenuhi kebutuhan terhadap 27 komoditas. Maksudnya, apakah pendapatan yang diperoleh bisa memenuhi kebutuhan seperti membeli beras lokal, daging sapi, daging ayam, membayar listrik, sewa rumah, membeli air minum, membeli ikan tongkol atau tuna, dan komoditas lainnya. (lihat tabel)

Manakala masyarakat bisa memenuhi kebutuhan 27 komoditas tersebut yang menjadi alat ukur pendapatan, bisa dikatakan indeks daya beli (IDB) masyarakat bagus. Namun, daya beli tidak berdiri sendiri karena merupakan tujuan akhir. Sedangkan proses untuk mencapai daya beli ada pada pengembangan perekonomian. Peningkatan daya beli merupakan akibat dari pengembangan perekonomian.

Sejak IPM dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan Jawa Barat tahun 2001 hingga 2006, dari data pencapaian IPM, termasuk indeks daya beli, bisa disimpulkan, pencapaian daya beli lamban dan belum menggembirakan dibandingkan dengan indeks pendidikan maupun indeks kesehatan.

Pada tahun 2001, posisi IDB Jawa Barat 55,10. Tahun 2002 naik menjadi 55,42. Pada tahun berikutnya, naik sedikit menjadi 58,63. Begitu pula tahun 2004, kenaikannya juga sedikit yaitu 58,83. Sedangkan tahun 2005, posisi IDB hanya 59,18. Sementara, tahun 2006 naik sedikit menjadi 59,42. Jika dikonversikan dalam nominal rupiah, posisi 59,42 setara dengan Rp 557.110,00. Demikianlah potret riil kondisi daya beli masyarakat.

Meski posisi IDB tidak menggembirakan, ternyata tidak sinkron dengan pencapaian laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Jawa Barat. Bahkan, bisa dikatakan kontradiktif. Dalam konteks ekonomi makro dengan ukuran LPE, ternyata menggembirakan. LPE tahun 2006 sebesar 6,02%, naik dibandingkan dengan tahun 2005 yakni 5,31%. Begitu pula jika dilihat jumlah investasi di Jawa Barat, terbilang bagus. Jumlah investasi berdasarkan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tahun 2006 sebesar Rp 75,64 triliun. Angka ini naik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal serupa juga terjadi pada realisasi penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN). Tahun 2006 realisasinya Rp 21,968 triliun, naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Walau posisi LPE cukup bagus dan jumlah investasi meningkat dan PMTB juga naik, bila dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin maupun tingkat pengangguran terbuka (TPT), seakan-akan tidak ada korelasinya sebab jumlah penduduk miskin justru naik (bukan turun). Tahun 2006 tercatat proporsi penduduk miskin dari total keluarga sebesar 29,05% atau naik dibandingkan dengan tahun 2005 yakni 28,29%. Adapun angka riil keluarga miskin tahun 2006 sebanyak 3,02 juta kepala keluarga (KK), naik dibandingkan tahun 2005 sebanyak 2,8 juta KK. Sementara, untuk TPT tahun 2006 ada penurunan yakni 10,95% bila dibandingkan dengan TPT tahun 2005 yakni 11,91%.

Peningkatan daya beli

Melihat potret seperti itu, Gubernur Jabar Danny Setiawan membuat berbagai terobosan untuk peningkatan pencapaian daya beli. “Memang, pencapaiannya agak lamban dibandingkan dengan pendidikan dan kesehatan,” kata Danny Setiawan.

Kelambanan pencapaian daya beli, papar Danny, disebabkan banyak faktor. Persoalan perekonomian tidak berdiri sendiri karena saling terkait dengan kondisi ekonomi makronasional. “Bila terjadi guncangan ekonomi makronasional, dengan sendirinya memberikan pengaruh kepada perekonomian Jawa Barat. Misalnya saja, kenaikan harga BBM tahun 2005, jelas memengaruhi sekali kepada kemampuan daya beli masyarakat,” kata Danny.

Hal serupa juga menyangkut kebijakan investasi, masalah kepastian hukum, dan sebagainya. Pendek kata, kebijakan ekonomi tidak tunggal karena sangat bergantung kepada ekonomi makronasional dan kebijakan pemerintah pusat.

Meski begitu, bukan berarti menyerahkan kepada kondisi yang ada. Kesadaran terhadap lambannya pencapaian daya beli membuat Pemprov Jawa Barat melakukan berbagai terobosan dan kebijakan. Misalnya, untuk tahun 2008, alokasi anggaran APBD lebih difokuskan kepada peningkatan daya beli dengan merumuskan 8 common goals (tujuan bersama).

Delapan common goals meliputi peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, ketahanan pangan, peningkatan daya beli masyarakat, peningkatan kinerja aparatur, penanganan pengelolaan bencana, pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan, pengelolaan pengembangan dan pengendalian infrastruktur, serta kemandirian energi dan kecukupan air baku.

Delapan common goals itu diturunkan dalam bentuk program yang lebih fokus, yakni dengan 49 program yang erat kaitannya dengan bingkai besar dari tujuan bersama. Dari 49 program itu, lebih dari 13 program yang erat kaitannya denan pengurangan angka kemiskinan, pengangguran, dan peningkatan daya beli. Misalnya, program pengembangan agrobisnis, ketahanan pangan, pengembangan usaha dan pemanfaatan sumber daya kelautan, pengembangan industri manufaktur, pengembangan perdagangan dalam dan luar negeri, dan lainnya.

Selain itu, ada upaya lain yang mendongkrak daya beli, yakni dengan diluncurkannya gagagasan IPM generasi ketiga. Seperti yang dijelaskan Gubernur Jabar Danny Setiawan, IPM generasi ketiga adalah menempatkan pemangku kepentingan (stakeholder) sebagai leading sector dalam pelaksanaan pencapaian IPM dengan fokus daya beli. Pemangku kepentingan seperti organisasi kemasyarakatan (ormas), perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Program ini akan menjadikan pemangku kepentingan sebagai ujung tombak dalam peningkatan daya beli masyarakat. Kemudian, juga akan memunculkan kreativitas secara bersama-sama untuk membuat masyarakat lebih sejahtera.

Yang jelas, persoalan daya beli rumit, dan saling terkait. Bukan saja dipengaruhi faktor eksternal seperti kebijakan ekonomi makronasional, tapi juga erat dengan sejauh mana komitmen internal dalam hal ini pemprov dan pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Harus ada kesadaran bersama untuk mencapai ini. Tidak bisa hanya jalan sendiri-sendiri dan “menyerah” kepada kondisi yang ada. Perlu komitmen, kerja keras, dan kesadaran politik, apakah di level pemprov, pemkab/pemkot maupun dukungan dari semua pemangku kepentingan untuk bahu-membahu. Jika daya beli masyarakat tinggi, sudah masuk kepada pintu kesejahteraan, karena kunci peningkatan IPM ada pada daya beli. (Irwan Natsir/”PR”)***

 

Pasted from <http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=6317>

Priangan Siapkan Program Kesinambungan

PIkiran Rakyat 31 Desember 2007

9:56

Selama dua tahun, (2006-2007) tiga daerah di Priangan Timur, yaitu Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, dan Kab. Ciamis, telah mendapatkan suntikan dana cukup besar dari Pemprov Jabar. Suntikan dana lewat Program Pendanaan Kompetisi (PPK) tersebut, kurang lebih sebesar Rp 120 miliar.

Ketika dana itu belum digulirkan, IPM Kab. Tasikmalaya, berada diposisi terendah yaitu di 68,49 poin, Kota Tasikmalaya diposisi 71,62 poin dan Ciamis 70,96 poin. Lewat dana PPK, tiga daerah ini berlomba mendongkrak IPM. Secara rinci, Kab. Tasikmalaya yang menyerap dana PPK IPM selama dua tahun, sebanyak Rp 39 miliar lebih, Ciamis Rp 47,5 miliar, dan Kota Tasikmalaya Rp 34 miliar.

Dari dana tersebut, tiga daerah ini berusaha menelurkan program yang inovatif, agar memberikan kemajuan untuk daerahnya. Mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, dan daya beli, yang semuanya merupakan indikator untuk menghitung IPM.

Secara umum, program pendidikan dari tiga daerah tersebut hampir sama. Contohnya menjaring mereka yang drop out (DO) di jenjang SD hingga SLTA untuk ikut persamaan, dan untuk kelompok belajar paket A (setara SD), B (setara SMP) dan C (setara SMA). Hal yang menonjol, Kab. Tasikmalaya menyelenggarakan persamaan ini dengan membuka Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di lingkungan pesantren. Dengan asumsi banyak santri yang mondok, tidak meneruskan di jenjang sekolah umum. Lebih dari 3.900 santri terjaring dalam kegiatan tersebut.

Di bidang pendidikan, Kab. Tasikmalaya mengalami kenaikan cukup tajam, yaitu dari semula indeks pendidikan tahun 2005, 80,61 poin naik menjadi 83,50 poin pada tahun 2006. Diperkirakan, pada akhir 2007, masih mengalami kenaikan hingga 84,30 poin. Begitu juga Ciamis, yang naik 20,27 poin untuk bidang ini. Pada 2005 sebesar 78,87 poin, lalu tahun berikutnya naik menjadi 79,14 poin. Belasan ribu anak DO, telah terselamatkan lewat program persamaan.

Bagi Kota Tasikmalaya, indeks pendidikannya menunjukkan nilai yang cukup tinggi, yaitu 84,61 poin pada 2005. Gebrakan dari PPK IPM setahun pertama, naik menjadi 85,22 poin pada akhir 2006. Kenaikan ini, semakin memantapkan indeks pendidikan pemberi kontribusi terbesar terhadap nilai IPM Kota Tasikmalaya. Artinya, anak yang putus sekolah rendah atau rata-rata lama sekolah sudah diatas delapan tahun, angka melek huruf juga sangat tinggi di atas 98 persen.

Permasalahan terlihat untuk indeks kesehatan, yang diukur dengan angka harapan hidup, kematian ibu melahirkan, dan lainnya. Ternyata indeks kesehatan untuk Ciamis dan Kab. Tasikmalaya pada tahun 2005 menuju 2006 jalan di tempat. Misalnya, tahun 2005 untuk Kab. Tasikmalaya, indeks kesehatan 70,33 poin. Tahun berikutnya, malah turun menjadi 69,60 poin. Ciamis pun demikian, tak banyak berubah. Dari tahun 2005 sebesar 69.17 poin turun menjadi 69,11 poin.

Masalah angka kematian ibu melahirkan, masih menjadi masalah krusial yang terjadi di Ciamis maupun Kab. Tasikmalaya. Ditambah dengan gizi buruk balita yang jumlahnya masih cukup banyak. Kondisi tersebut, harus menjadi perhatian dua daerah ini.

Sedangkan, satu titik lemah paling terlihat dari tiga indikator IPM di Priangan Timur ini, yaitu indeks daya beli. Seperti di Kota Tasikmalaya, pada tahun 2005 mencapai 59,53 poin dan pada tahun 2006 tak banyak mengalami kenaikan, yaitu 59,96 poin.

Di Ciamis, indeks daya beli yang mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat, masih juga lemah. Pada tahun 2005, indeksnya 64,84 poin, dan di tahun 2006 tidak berubah, masih di posisi tersebut.

Di Kab. Tasikmalaya, kendati daya beli juga masih rendah, namun terlihat ada kenaikan cukup tajam. Pada tahun 2006, indeks daya beli yaitu 64,10 poin dari sebelumnya, 49,94 poin. Diperkirakan pada tahun 2007 indeks daya beli mengalami kenaikan sampai 65,10 poin. “Memang masalahnya, daya beli yang harus dipacu kembali,” kata Sekda Kab. Tasikmalaya Asep Ahmadi Djaelani, kepada “PR”, Sabtu (29/12).

Selama dua tahun berjalan, di Kab. Tasikmalaya lewat PPK IPM ini, telah diupayakan pengembangan penggemukan sapi, domba, pembibitan, perikanan, hingga pertanian organik. Khusus pertanian organik, dilakukan dengan mengembangkan padi SRI.

Semua program itu, diharapkan akan menaikan pendapatan petani atau peternak. Peluang itu terbuka, karena terbukti dari usaha penggemukan sapi, terdapat kenaikan pendapatan dari petani lebih dari Rp 150 ribu/bulan. Sedangkan, di tanaman SRI, produksi padi dari semula rata-rata 4,5 ton/ha, menjadi diatas tujuh ton. Situasi ini, telah mengangkat kehidupan petani.

Oleh karena itu sekalipun PPK IPM pada tahun 2008 tidak lagi mendapat kucuran dana dari provinsi, tidak berarti pengembangan untuk mengangkat pendapatan warga berhenti. Kab. Tasikmalaya telah menyiapkan program untuk pengembangan agribisnis ini. Terutama, dengan memperluas tanaman padi dengan pola SRI. “Sekarang sudah kita susun langkah atau program, untuk pengembangan agribisnis ini, dalam rangka menaikan pendapatan ribuan petani. Dana disiapkan lebih dari Rp 8 miliar,” kata Sekda Tasikmalaya Asep Ahmad Djaelani.

Selain di pengembangan padi SRI, kata dia, sektor perikanan dan peternakan juga akan dipacu terus. Aep Saeful Millah, salah seorang kelompok tani/ternak asal Gunung Tanjung mengatakan, pengembangan ternak sapi telah memberikan nilai tambah untuk peternak. Rata-rata setiap satu ekor, petani mendapatkan keuntungan Rp 500 ribu. Maka dari itu, jika ternak ini terus dikembangkan akan mampu mengangkat pendapatan petani. Peternakan akan menjadi andalan, ketika kepemilikan sapi di masing-masing petani lebih dari tiga ekor. “Saat ini, seperti di lingkungan kelompok kita, baru dua ekor,” ujar Aep.

Di Kota Tasikmalaya, selain usaha penggemukan sapi, pengembangan UKM (kerajinan bordir, batik dan lainnya), juga terdapat pengembangan kredit lunak. Menurut Sekda Kota Tasikmalaya, Endang Suhendar, dana program kesinambungan untuk PPK IPM 2008 sebesar Rp 16 miliar, murni berasal dari APBD Kota Tasikmalaya.

Titik tekan untuk programnya, yaitu masih mendongkrak daya beli masyarakat. Orientasi programnya, adalah kucuran kredit permodalan, yang dinilai telah berhasil selama dua tahun PPK IPM. “Kucuran permodalan lebih dari Rp 5 miliar untuk dua tahun lalu, akan ditambah lagi. Harapan kita kegiatan ini akan mengembangkan usaha dan menyerap tenaga kerja luas. Yang pasti, setelah PPK IPM berakhir dari Jabar, akan ada kesinambungan dari dana kita sendiri,” ujar Sekda Endang.

Begitu juga Ciamis, telah memantapkan untuk membangun kesinambungan, untuk menaikan IPM. Pada Th 2008, dana disiapkan sebesar Rp 10,2 miliar. “Sasaran utama pengembangan agrobisnis terpadu adalah untuk menaikan daya beli atau pendapatan petani. Kemampuan daya beli masyarakat Ciamis pada 2005 sebesar Rp 587 ribu perkapita, lalu naik di tahun 2006 menjadi Rp 640.792. Harapan kita, tahun 2008 juga demikian dengan program –program yang kita siapkan,” kata Kepala Bappeda Ciamis Tarso Dawaminata.

Kepala Dinas Peternakan Ciamis, Kuswara mengatakan, pengembangan agribisnis terpadu ini, mulai dari pengembangan penggemukan sapi, pembibitan, pengembangan atau budi daya tanaman jagung sampai pembuatan pakan ayam serta breeding farm (pembuatan pembibitan anak ayam/DOC). Selain itu, pengembangan agrobisnis udang.

“Program terpadu ini, akan terus berlanjut, karena telah memberikan andil cukup besar, dalam mendongkrak pendapatan petani, maupun para peternak,” ujar Kuswara. (Undang Sudrajat/”PR”)***

 

Pasted from <http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=6318>