Tiga Hambatan Pelaksanaan Indeks Kesehatan

Pikiran Rakyat 31 Desember 2007

10:16

SUATU harapan besar tercipta ketika dicanangkan program Jawa Barat Sehat 2008. Program tersebut harusnya terintegrasi dengan konsep peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Barat yang ditargetkan mencapai 80 pada 2010 mendatang. Secara nasional dan internasional juga ikut terkait pada komitmen pembangunan dalam era milenium (Millenium Development Goals, MDGs) 2015 mendatang.

Dalam paradigma IPM, fokus utama ditujukan untuk pengembangan manusia, kemakmuran, keadilan, dan keberlanjutan (sustainability). Dasar pemikiran paradigma ini mengacu kepada keseimbangan ekologi manusia dan tujuan utamanya adalah aktualisasi optimal potensi manusia.

Berdasarkan konsep Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), konsep kesehatan secara paripurna meliputi urusan “sehat” secara fisik, tetapi juga secara sosial dan spiritual. Unsur kesehatan dalam penghitungan indeks pembangunan manusia (IPM) diwakili oleh indeks kesehatan yang meliputi derajat kesehatan dan angka harapan hidup (life expectancy rate). Indikator ini digunakan untuk mengukur status kesehatan masyarakat, panjang umur rata-rata.

Pada 2006, IPM yang diperoleh Jawa Barat sebesar 70,30 naik dari IPM 2005 yang sebesar 69,35. Demikian pula dengan IPM kesehatan. Indeks kesehatan pada 2006 sebesar 70,13 dengan angka harapan hidup 67,08 tahun. Angka ini naik dari tahun sebelumnya atau tahun 2005, IPM-nya sebesar 69,28 dan angka harapan hidupnya 66,57 tahun. Untuk mengejar target IPM sebesar 80 pada 2010, banyak hambatan yang harus dilalui. Apalagi, jumlah penduduk Jawa Barat sudah mencapai 40.737.594 jiwa penduduk (Data Suseda 2006).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, derajat kesehatan meliputi angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup sebesar 40,87 poin. Angka kematian balita per 1.000 balita mencapai 64,67 poin, angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup mencapai 321,15 poin, dan angka kematian kasar per 1.000 penduduk mencapai 8,10 poin. Persentase penduduk yang mengeluh sakit di Provinsi Jawa Barat mencapai 22,51%, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 23,65%.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Dr. Hanny Ronosulistyo, Sp.O.G., M.M., terdapat tiga besar hambatan dalam meningkatkan indeks kesehatan. Secara faktual, kondisi kesehatan lingkungan sangat memengaruhi derajat kesehatan masyarakat di Jawa Barat. “Hal itu juga dipengaruhi secara nyata oleh peran serta masyarakat yang belum menunjukkan kondisi yang lebih baik, terutama pemahaman terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS),” katanya. Berbagai penyakit berbasis lingkungan yang melanda Jawa Barat sepanjang 2007, di antaranya flu burung dan demam berdarah dengue.

Kasus flu burung pada 2007 ditemukan di 21 kab./kota, 192 kecamatan yang menyebar di 296 desa/kelurahan. Sebanyak 318 kasus positif dengan jumlah unggas mati sebanyak 29.206 ekor. Sejak 2005 sampai 2007, penderita positif virus flu burung (Avian influenza) ditemukan sebanyak 29 orang, 24 orang di antaranya meninggal dunia.

Sampai Oktober 2007, dilaporkan kasus penyakit DBD yang ditularkan nyamuk Aedes aegypti mencapai 23.577 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 243 kasus. Penyakit malaria masih menjadi penyakit endemis di 5 kabupaten (Sukabumi, Cianjur, Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya). Jawa Barat berhasil “menggeser” kedudukan Papua dalam hal penyebaran virus HIV-AIDS menjadi peringkat ke-2 se-Indonesia dengan 2.513 kasus, terdiri dari 1.423 orang penderita HIV dan 1.090 penderita AIDS.

Terjadi peningkatan penyebaran malaria di daerah reseptif mencapai 1,43 pada angka sebelumnya 0,386. Jumlah balita gizi buruk tercatat sebanyak 24.729 kasus.

Permasalahan kedua yaitu keterbatasan aksesibilitas dan kualitas kesehatan. Pelayanan kesehatan dasar masih belum mencapai standar pelayanan minimal (SPM), prasarana pelayanan kesehatan dasar belum dapat diakses sepenuhnya oleh masyarakat terutama penduduk miskin, tenaga kesehatan belum merata terutama di perdesaan.

Jumlah tenaga kerja puskesmas mencapai 25.099 orang, terdiri dari 1.631 orang dokter umum dan sisanya paramedis. Tenaga bidan di desa baru mencakup 43,23% dengan jumlah 6.951 orang. “Satu puskemas melayani 40.575 penduduk, tentu menjadi tugas yang berat bagi tenaga kesehatan tersebut,” ungkapnya. Dari 1.040 puskesmas yang ada di Jabar, baru 640 puskesmas yang memiliki dokter. Rumah sakit yang tersebar di seluruh Jabar mencapai 174 unit, terdiri dari RS pemerintah maupun swasta. Jika dihitung, rasio satu tempat tidur melayani 3.207 penduduk.

Masalah lain yang dihadapi yaitu jumlah penduduk miskin. Dalam program pemerintah, warga miskin dijamin kesehatannya melalui Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin) dengan premi Rp 5.000,00/individu/hari. Dana diturunkan dari Departemen Kesehatan RI yang dikelola PT Askes.

Persentase penduduk miskin di Jabar pada 2006 mencapai 29,05%. Jumlah penduduk miskin cenderung terus meningkat setiap tahunnya dipengaruhi penurunan daya beli masyarakat. Tidak semua jumlah penduduk miskin dijamin oleh Askeskin, sisanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Akibatnya, membebani APBD masing-masing daerah. Keterlambatan pembayaran klaim Askeskin malah membuat rumah sakit meradang dan dibuat “bangkrut”.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai target indeks kesehatan dalam IPM diawali dengan sosialisasi dan penyebaran pengetahuan ke tiap desa mengenai PHBS yang menjadi pangkal utama pencegahan penyakit. “Upaya untuk mengubah gaya hidup memang sulit, apalagi sudah menjadi kebiasaan menahun. Namun, pemeliharaan kesehatan harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat,” katanya. Masyarakat dan unsur lainnya harus diajak serta dalam bentuk pemberdayaan dan kemitraan mengelola kehidupan lingkungan yang layak sehingga konsep sehat secara paripurna dapat tercapai. Terutama, dalam hal pencegahan dan pemberantasan penyakit menular terutama daerah perbatasan dan desa tertinggal.

Peningkatan aksesibilitas dan kualitas kesehatan masyarakat dengan fokus peningkatan sarana dan prasarana kesehatan dasar, penyediaan sumber daya kesehatan terutama untuk daerah perbatasan dan desa tertinggal, harus segera diselenggarakan.

Pemberdayaan penduduk miskin tak kalah penting untuk meningkatkan kondisi kesehatan mereka. Dapat dimulai dengan peningkatan akses dan pelayanan bagi penduduk miskin. Tentunya, semua kembali kepada kesadaran masing-masing individu untuk mengupayakan kesehatan masing-masing. Dengan demikian, upaya individu yang berkesinambungan akan mendukung upaya kolektif untuk mencapai Jawa Barat Sehat 2008. Dalam kurun waktu yang singkat, mungkinkah pengelolaan kesehatan secara paripurna tercapai? (Ririn N.F./”PR”) ***

 

Pasted from <http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=6315>

Tinggalkan komentar